whatwonderfullworld.com – Sekjen Komite Anti Korupsi (KAKI), Firman, mengungkap fakta mengejutkan terkait penolakan relokasi di Pulau Rempang, Batam. Firman menyatakan bahwa penolakan tersebut tidak semata-mata berasal dari penduduk setempat, melainkan juga dari “oknum bayaran” yang berasal dari luar Batam. Fakta ini terungkap setelah polisi berhasil menangkap sejumlah provokator yang terlibat dalam aksi unjuk rasa di Rempang dan Batam pada tanggal 7 dan 11 September 2023. Parahnya lagi, sejumlah provokator yang ditahan polisi ditemukan positif mengonsumsi narkoba.
Menurut Firman, aksi unjuk rasa tersebut didanai oleh seorang pengusaha Batam bernama Bowie Yonathan, yang merupakan pemilik dari tiga perusahaan terkemuka di wilayah tersebut, yaitu PT Agrilindo Estate, PT Villa Pantai Mutiara, dan PT Golden Beach Resort. Firman menduga bahwa Bowie adalah motor utama di balik pendanaan aksi unjuk rasa ini, entah melalui pengiriman dana langsung ke koordinator lapangan atau melalui sejumlah aktor intelektual yang memanfaatkan isu Rempang untuk kepentingan pribadi masing-masing.
Firman juga menyoroti bahwa Bowie Yonathan memiliki sejumlah usaha di Pulau Rempang, termasuk tambak udang dan peternakan. Situasi Pulau Rempang sejak tahun 2016 telah menjadi sorotan, dengan banyaknya praktik “pencurian” lahan secara ilegal oleh beberapa pihak.
“Bowie dan beberapa cukong Singapura adalah yang paling keras menentang Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City, demi melindungi bisnis ilegal mereka,” ujar Firman.
Firman menekankan bahwa Proyek Eco City Pulau Rempang sebenarnya membawa dampak positif, seperti penyerapan tenaga kerja lokal dan dampak ekonomi lainnya. Hingga saat ini, seluruh lahan di Pulau Rempang dan Galang masih berada di bawah kendali pemerintah, dan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) belum diterbitkan. Oleh karena itu, klaim bahwa swasta menguasai Pulau Rempang dan memanfaatkan aparat keamanan adalah tidak benar.
Selain itu, ada upaya untuk membingungkan sejarah Pulau Rempang dengan klaim bahwa pulau tersebut telah dihuni sejak tahun 1800-an atau bahkan 1700-an. Namun, data dari peta satelit Landsat menunjukkan bahwa Pulau Rempang pada tahun 1990 masih sepenuhnya hutan dan hampir tidak dihuni. Hanya sekitar tahun 2002 mulai ada penduduk, dengan lahan yang digarap tidak mencapai 10% dari total luas pulau. Pada tahun 2020, deforestasi dan penembangan liar semakin meningkat.
Berita juga mencatat adanya hoaks di media sosial yang mengklaim adanya MOU antara PT MEG dan Pemerintah Kota Batam yang melarang pengembangan Eco City mengganggu kampung adat. Namun, tidak ada pasal tersebut dalam MOU antara PT MEG dan Pemerintah Kota Batam. Ketentuan ini sebenarnya terdapat dalam MOU pengembangan Kota Batam.
Firman juga mengungkapkan bahwa kasus Pulau Rempang ini telah dimanfaatkan oleh sejumlah elit politik untuk kepentingan pribadi dan politik, termasuk dalam konteks Pemilu 2024, Pilkada, dan kampanye sejumlah calon legislatif.
Menanggapi pernyataan KAKI, Prof. Agus Surono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan pengamat hukum, menekankan bahwa jika aksi unjuk rasa didanai oleh seorang pengusaha Batam bernama Bowie Yonathan, hal ini harus diselidiki oleh pihak kepolisian. Jika terdapat unsur perdata dalam konflik di Pulau Rempang, penyelesaiannya dapat melibatkan Kementerian Kehutanan atau Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Agus Surono juga menyoroti kemungkinan keterlibatan mafia tanah dan kepentingan pribadi dalam konflik tersebut. Jika terbukti adanya mafia tanah yang menguasai lahan di Pulau Rempang, pihak penegak hukum harus melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Dalam konteks konflik yang melibatkan kepemilikan tanah oleh warga dan tanah yang dimiliki oleh negara, Agus Surono menekankan pentingnya penyelesaian yang adil dan menghindari kepentingan perusahaan swasta atau asing yang dapat memperburuk situasi.
konflik di Pulau Rempang memunculkan banyak isu kompleks yang melibatkan kepentingan pribadi, konflik tanah, dan politik. Pengungkapan fakta oleh KAKI dan penegasan bahwa Eco City Pulau Rempang membawa dampak positif menjadi sorotan dalam perkembangan ini. Penegak hukum diharapkan akan mengusut semua aspek konflik ini secara tuntas untuk mencapai penyelesaian yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat Pulau Rempang.