whatwonderfullworld.com – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional mengajak masyarakat untuk tidak melupakan tragedi kerusuhan di era 1990-an. PBHI mengimbau agar korban dan masyarakat sipil tidak memberikan suara kepada pelaku pelanggaran HAM pada Pemilu 2024 mendatang.
Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, menyatakan bahwa pelaku kejahatan masa lalu tidak layak menjadi pemimpin Indonesia karena dikhawatirkan kejadian serupa dapat terulang. Tragedi berdarah yang terjadi pada kerusuhan 27 Juli 1996 atau kudatuli dan kerusuhan Mei 1998 belum menemukan titik terang penyelesaian masalah.
“Ini bagian dari gerakan sosial dan politik dari masyarakat sipil. Nasib kami masih terancam selama pelaku HAM berat ini berada dalam kekuasaan dan berpotensi mendapatkan kekuasaan di Pemilu 2024,” tegas Julius saat diskusi publik di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023).
Julius juga menyampaikan bahwa PBHI telah berkoordinasi dengan keluarga korban untuk menuntut tanggung jawab dari Komnas HAM dalam mengusut tuntas dalang dan pelaku yang terlibat dalam tragedi tersebut. Namun hingga kini, belum ada penyelesaian atau penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Paian Siahaan, ayah dari salah satu korban penculikan 1998, Ucok Munandar, juga menyuarakan ketidakpuasan atas kurangnya kejelasan mengenai status hukum anaknya. Ia merasa sakit hati ketika ada yang menyatakan kasus ini telah selesai tanpa mempertimbangkan perjuangan mereka selama lebih dari 25 tahun.
Di akhir acara, PBHI Nasional bersama dengan beberapa lembaga dan perwakilan masyarakat sipil melakukan deklarasi untuk melawan lupa terhadap tragedi tersebut.
Petrus Hariyanto, korban penyiksaan dan tragedi 27 Juli 1996, juga turut menyampaikan pesan singkat melalui video yang ditayangkan selama acara.
Berita ini merupakan panggilan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang tragedi masa lalu dan pentingnya tidak memilih pemimpin yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat pada Pemilu mendatang.