whatwonderfullworld.com – Menanggapi larangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengekspor minyak goreng dan bahan baku dari komoditas minyak sawit mentah (CPO), Arief Poyuono, politisi Gerinda, mengatakan kalau kebijakan Jokowi itu justru memperkaya Malaysia yang juga punya penghasilan CPO terbesar kedua setelah Indonesia.
“Melarang ekspor CPO itu, salah satunya bisa membuat kemiskinan masyarakat, terutama para petani sawit dan stageholder sawit, dan masyarakat yang hidupnya bergantung dari sawit, terutama masyarakat di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, yang hidup bergantung pada industri sawit,” tegas Arief Poyuono di Jakarta pada Rabu (8/4/2022).
Dengan dilarangnya CPO, kata mantan Wakil Ketua Partai Gerindra lebih lanjut, artinya hasil buah-buah sawit yang dari rakyat jadi murah karena tidak boleh diekspor lagi.
Lalu, Arief Poyuono mempertanyakan kemampuan pabrik minyak goreng dan turunannya bisa menyerap seluruh hasil CPO Indonesia, karena Indonesia menghasilkan CPO sebanyak 47 juta ton dan biodiesel 7,8 juta ton setiap tahunnya.
“Indonesia menghasilkan CPO 47 juta CPO ton per tahun, terbesar di dunia. Sedangkan untuk minyak goreng cuma 8,9 ton per tahun, untuk biodiesel cuma 7,8 ton per tahun. Lalu lebihnya mau diapain. Memang bisa, pabrik minyak goreng dan turunannya bisa menyerap hasil CPO-nya Indonesia,” tegasnya lagi.
Menurut Arief Poyuono, pabrik-pabrik itu tidak akan mampu mengolah hasil CPO itu. Karena itu, politisi Gerinda ini meminta pemerintah supaya tidak menghentikan ekspor CPO tersebut
“Nggak mampu mas, pabriknya. Lalu jalan keluarnya nggak boleh distop ekspornya. Harga CPO itu yang menentukan harga dunia, pasar dunianya, Rotterdam,” ungkapnya lagi.
Menurut Arief, CPO dan grup oil atau minyak mentah itu ditentukan oleh dunia.
“Sekarang apa bedanya BBM naik dengan minyak goreng naik. BBM naik, pemerintah kasih BLT. Minyak goreng naik, pemerintah kasih BLT. Lo, kok ini dilarang CPO dikeluarkan supaya harga minyak goreng curah itu jadi 14 ribu. Nggak mungkin lah mas,” kata Arief Poyuono.
“Justru ini,” kata Arief Poyouno lagi, “saya pikir sebuah cara untuk membuat kemiskinan jadi bertambah, terutama masyarakat bergantung pada industri sawi,” tegasnya.
“Kita memang tidak suka dengan oligarki, inilah yang terjadi. Tapi masih banyak yang bergantung pada oligarki saat, masyarakatnya,” katanya lagi.
Menurut Arief Poyuono, kalau harga CPO-nya naik, yang untungnya pasti masyarakat sawit, dan buruh sawit. Masyarakatnya pasti membutuhkan uang untuk belanja, misalnya untuk beli mobil, motor atau kulkas. Disini uangnya bisa berputar, terutama di Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi.
Lalu Arief mempertanyakan kebijakan Jokowi tersebut, apakah itu mau membangkrutkan masyarakat Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
“Jadi buat apa infrastruktur dibangun di luar Jawa tapi masyarakatnya tidak mampu atau miskin pendapatannya. Sadar mas Jokowi. Keputusan mas Jokowi menghentikan ekspor CPO, itu salah,” tegas Arief Poyuono.
Bagi Arief, ketiadaan ekspor dari Indonesia ke dunia, harga CPO dunia akan naik tinggi.
“Harusnya diambil keputusan, suruh stageholder sawit, lebih memproduksi CPO-nya. Jadi barang banjir di dunia. Harganya jadi turun di dunia. Lah kalau dikurangi, harganya tambah naik,” tegasnya lagi.
Karena itu, menurut mantan wakatum Gerindra ini, Jokowi, melalui kebijakan melarang ekspor CPO itu, sedang memperkaya Malaysia dan memiskinkan masyarakat yang hidup dari penghasilan CPO.
“Disini, Jokowi sedang memperkaya Malaysia, memiskinkan Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi, sudah ya mas,” tegasnya lagi.