(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
whatwonderfullworld.com – SBY telah menulis artikel dengan judul “The President Can Do No Wrong: Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi”. Artikel ini menyebar massif di media sosial. Sebenarnya SBY menulisnya pada tanggal 18 Juni, namun baru beberapa hari terakhir ini marak dibahas. Kompas online, misalnya, menurunkan bahasan atas artikel ini pada 27/6, dengan judul “Saat SBY Turun Gunung Bela Jokowi Soal ‘Cawe-Cawe’ Pemilu 2024, tapi juga Wanti-Wanti”. Dalam artikelnya tersebut memang SBY terlihat “bermain aman,” mengatakan cawe-cawe itu tidak masalah, namun memberi “warning” atau “nasehat keras” agar cawe-cawe tidak menyelewengkan kekuasaannya dalam menjatuhkan Anies Baswedan.
Alasan SBY mengambil sikap tengah itu, menurutnya, karena sebagai orang Jawa, dia memahami arti cawe-cawe, ketimbang orang luar Jawa. Dalam bahasa Jawa, cawe-cawe adalah bahasa netral, tergantung dalam kalimat lengkapnya. Ada 5 poin yang dibahas SBY dalam artikel tersebut, yakni 1) Tentang makna cawe-cawe Jokowi, 2) Informasi Jokowi menghendaki hanya ada dua capres, 3) Jokowi benci Anies, 4) Endorsement Jokowi pada Ganjar dan Prabowo, 5) Jokowi penentu final yang harus diusung parpol.
Dari 5 poin itu, SBY secara hati-hati bersikap, bahwa meskipun Jokowi bisa berdebat soal etik, soal tidak melanggar hukum, soal hak dia mengarahkan keberlanjutan kekuasaannya, soal hak Jokowi benci Anies dan lainnya, namun Jokowi harus taat pada hukum dan demokrasi. Menurut SBY, jika menyingkirkan Anies dengan cara tak wajar, baik mengkriminalisasi Anies maupun melumpuhkan parpol pendukung Anies, maka demokrasi akan hancur. SBY meyakini fakta sosial adanya keterbelahan rakyat antara yang pro status quo maupun pro perubahan. Keduanya menurut SBY punya hak untuk dikontestasikan.
Kita menghormati SBY dalam melakukan kritik terhadap Jokowi. Sebagai Jawa (seperti dituliskannya di halaman pertama) mungkin dia tepat melakukan kritik seperti itu. SBY selalu mengartikan demokrasi kita bukan liberalis, tapi harus bertata krama.
Berbeda dengan SBY adalah Gatot Nurmantyo. Meskipun dia Jawa Solo, yang seharusnya lebih lembut dari SBY, namun Gatot lantang dan menyerang rezim Jokowi dalam urusan demokrasi, pilpres dan berbagai kebijakan Jokowi lainnya, seperti urusan militer, bansos, Hak Asasi Manusia, dll.
Dalam orasi “Oke, Ganti Baru”, di hadapan seratusan tokoh pada 21/6 lalu di Jakarta, sebagaimana dimuat Refly Harun Channel, Gatot menyerang elit-elit penguasa telah menyingkirkan rakyat dan suara rakyat demi kepentingan elit itu sendiri. Para elit yang berkuasa hanya memperkaya diri dan berpikir bagaimana anak dan cucunya bisa hidup terus dalam kekuasan. Meskipun tidak menyinggung nama Jokowi dalam pidatonya, Gatot mengatakan upaya pelanjutanan kekuasaan oleh rezim, untuk Prabowo ataupun Ganjar, dapat dipersepsikan sebagai ada kekuasaan Jokowi didalamnya.
Gatot mencela penyingkiran Anies Baswedan atau upaya kekuasaan hanya mendukung Prabowo atau Ganjar saja, sebagai kejahatan demokrasi. Jika hanya wakil kekuasaan sekarang yang boleh berkompetisi, bagaimana nasib kekuasaan ke depan? Bagaimana mereka berkuasa tanpa legitimasi suara rakyat oposisi, yang jumlahnya bisa di atas 50% saat ini?
Gatot kemudian menghimbau tentara tidak diam saja. Sebab, tentara adalah anak kandung rakyat secara historis. Jika rakyat disingkirkan, menurut Gatot, saatnya tentara menunjukkan baktinya melindungi rakyat.
Kita telah melihat Gatot dan SBY secara terbuka menunjukkan keberpihakannya pada demokrasi. Demokrasi maksudnya di sini adalah sejatinya demokrasi, bukan pseudo demokrasi atau kepura-puraan. Meskipun keduanya tumbuh dalam lingkungan militer dan mencapai puncak kepemimpinan sebagai militer, keberpihakan mereka atas demokrasi akan menjadi contoh baik bagi bangsa kita ke depan. Contoh apa? Contoh untuk tidak menuhankan kekuasaan. Contoh untuk tidak menyandera kekuasaan seperti kerajaan. Contoh untuk memberi kesempatan bagi rakyat memilih pemimpin secara bebas dan adil.
Tentu saja tugas menjadikan demokrasi itu sesuai aslinya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat bisa terwujud, memerlukan kerja keras. Plutokrasi, yang disinggung dalam artikel SBY, telah berlangsung pesat saat ini. Orang-orang kaya menguasai semua kekuasaan. Hal ini harus kita tertibkan. Gatot Nurmantyo mendorong agar cendikiawan, ulama dan militer mengambil alih lagi pengelolaan kekuasaan. Itu harus dikejar terus.
Penutup
Jenderal (purn) SBY dan Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo adalah tokoh militer yang getol memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia. Demokrasi itu bukan pseudo demokrasi melainkan demokrasi sejati. Plutokrasi harus ditumbangkan. Cendikiawan, ulama dan tentara harus bersatu mengelola negara, agar cita-cita proklami berkelanjutan.
Namun, nasib masa depan bangsa ini merupakan komitmen bersama dan pengorbanan. Kita harus bersama mendukung tegaknya demokrasi itu. Kita harus selamatkan suara oposisi yang berkisar atau lebih dari 50% saat ini. Kita harus pastikan capres-cawapres jangan hanya versi atau keinginan Jokowi saja. Anies Baswedan tidak boleh dijegal. Parpol pendukung Anies tidak boleh dibegal. Demokrasi harus diselamatkan.