whatwonderfullworld.com – Kebijakan hilirisasi industri yang dilakukan Pemerintah diharapkan dapat memperkuat daya saing ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan ketidakpastian kondisi perekonomian global saat ini. Indonesia juga bertekad menjadi pemain kunci global dalam industri hilirisasi berbasis komoditas dengan mengurangi ekspor bahan mentah dan meningkatkan hilirisasi industri berbasis SDA di dalam negeri.
Salah satu komoditas dengan jumlah cadangan besar di Indonesia yakni nikel dimana data U.S. Geological Survey memperlihatkan bahwa cadangan nikel Indonesia menempati peringkat pertama yakni mencapai 21 juta ton atau setara dengan 22% cadangan global.
Produksi nikel Indonesia juga menempati peringkat pertama yakni sebesar 1 juta ton, melebihi Filipina (370 ribu ton) dan Rusia (250 ribu ton). Hilirisasi nikel juga telah terbukti berkontribusi positif dan di sepanjang 2022 telah berkontribusi 2,17% terhadap total ekspor non migas.
Bertempat di Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah pada Jumat (10/02), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) Pembangunan Proyek Pertambangan dan Pengolahan Nikel Rendah Karbon Terintegrasi PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale) dan PT Bahodopi Nickel Smelting Indonesia (PT BNSI).
Lokasi pertambangan berada di Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi serta lokasi pabrik pengolahan yang berada di Desa Sambalagi, Kecamatan Bungku Pesisir. Alokasi total biaya investasi untuk proyek tersebut mencapai Rp37,5 triliun dengan kapasitas produksi mencapai 73 ribu ton per tahun.
“Saya berharap ini akan diikuti dengan peletakan batu-batu berikutnya. InsyaAllah bisa diselesaikan dalam 2,5 tahun. Saya lihat kemampuan tim dan semangat yang ada, di mana proyek terlihat semuanya rapi dan tertata, saya yakin ini bagian dari manajemen yang baik,” ungkap Menko Airlangga.
Smelter nikel yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional tersebut menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan juga didukung sumber listrik yang berasal dari gas alam. Hal itu akan mengurangi emisi karbon dari keseluruhan operasi proyek dengan target hingga 33% pada 2030.
“Ini pabrik green smelter pertama yang saya lihat. Berbasis gas LNG, tentu minta dukungan dari Komisi Energi (DPR RI) bahwa ini adalah green energy, green product, dan green mining. Indikator green economy itu mudah, kita lihat langitnya warna biru atau abu- abu. Kalau langit biru berarti sudah harmoni, hijau, dan baik,” jelas Menko Airlangga.
Proyek ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Tengah secara khusus dan pulau Sulawesi pada umumnya. Keberadaan proyek ini juga membantu menyerap sekitar 12 ribu hingga 15 ribu tenaga kerja saat masa konstruksi dan sekitar 3 ribu tenaga kerja saat operasional.
“Diharapkan ada multiplier effect yang didapatkan masyarakat dari kegiatan ini, dan masyarakat bisa terlibat pada ekosistem pengembangan industri yang ada di Morowali. Pertumbuhan yang cepat akan diikuti kesejahteraan masyarakat, karena investasi artinya adalah lapangan kerja. Saya menghimbau agar korporasi mengirim sebanyak-banyaknya pemuda-pemudi di sekitar sini untuk pendidikan dan pelatihan, sehingga nanti bisa bekerja di perusahaan ini,” tutup Menko Airlangga.
Pada kesempatan yang sama, dilakukan juga groundbreaking Pelabuhan Bahomotefe, yang ke depannya jika sudah beroperasi akan bisa mendukung konektivitas antar wilayah sehingga mampu mengakselerasi rantai logistik bahan tambang yang sudah diberikan nilai tambah hilirisasi.
Turut hadir dalam kegiatan ini yakni antara lain Menteri Perindustrian, Ketua Komisi VII DPR RI, Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Bupati Morowali, Presiden Komisaris dan Presiden Direktur PT Vale Indonesia, Chairman Shandong Xinhai Technology Co. Ltd. (Xinhai), dan Chairman Taiyuan Iron & Steel (Group) Co. Ltd (Tisco).