wharwonderfullworld.com – Situasi ekonomi global semakin tidak menentu. Bahkan mau tidak mau kondisi tersebut akan mempengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM) di tanah air.
Begitu tegas Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Arief Poyuono kepada wartawan, Minggu (14/8).
“September The Fed rencana naikkan lagi suku bunganya, hingga 0,75 basis crude oil pasti bisa naik lagi. Kurs rupiah makin jeblok,” sambungnya.
Di satu sisi, ekspor Indonesia juga pasti akan terganggu karena komoditas ekspor jadi mahal dan banyak negara tujuan ekspor mengurangi impornya. Negara tujuan ekspor Indonesia seperti China, India, dan Amerika Serikat juga sedang mengalami gejolak ekonomi nasional.
“Dengan ekspor turun otomatis pendapatan negara juga turun,” jawabnya singkat.
Jika harga BBM naik, maka mau tidak mau ongkos produksi dalam negeri juga naik. Dampaknya harga-harga barang dan jasa ikutan naik.
Sementara itu, daya beli masyarakat Indonesia masih lemah serta pendapatan ekonomi keluarga juga belum stabil alias menurun akibat dampak Covid-19 selama 2 tahun lalu. Tidak sedikit sektor ekonomi informal dan formal tutup dan PHK karyawan.
Adapun BBM jenis Pertalite dan Biodiesel sudah mulai kurang pasokan di sejumlah SPBU. Padahal subsidi BBM sudah mencapai Rp 502 triliun.
“Sampai berapa kuat negara tahan untuk subsidi BBM. Belum lagi secara fakta, akibat dampak Covid nilai NPL perbankan BUMN dan swasta juga secara hitungan buku sudah melipati batas yang ditentukan cuma karena ada kebijakan restrukturing saja jadi tetap di bawah patokan NPL-nya,” urainya.
NPL di Bank BUMN yang tinggi bukan akibat dari dampak Covid-19 semata. Namun dikarenakan kebijakan perbankan BUMN yang sebelumnya jor-joran sebelum Covid-19 yang mengucurkan kredit dan tidak sedikit kredit bodong yang kemudian dikemplang oleh debitor.
Terlepas dari itu, arief Poyuono menilai bahwa dalam menghadapi ekonomi yang sulit, pemerintah masih belum perlu meningkatkan suku bunga. Alasannya, karena inflasi Indonesia masih relatif terjaga di 4 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih di atas 5,4 persen, dan cadangan devisa masih kuat.
“Sehingga pilihannya, kelihatannya pemerintah terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan mengelola kurs mata uang. Ini pilihan ya,” terangnya.
Namun untuk nasional, perbankan akan lebih senang situasi saat ini jika BI tidak mengambil kebijakan peningkatan tingkat suku bunga dan pertumbuhan ekonomi masih terjaga.
“Namun dengan skuad Tim Jokowinomic di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto sih masa sulit dan gelap di tahun depan bisa dilewati dengan terang benderang,” yakinnya.
“Karena ini sudah terbukti dengan pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19 dinilai banyak negara di dunia dan lembaga lembaga ekonomi dunia sangat berhasil,” demikian Arief Poyuono.