whatwonderfullworld.com – Ekspor sawit masih seret, padahal pemerintah sudah berupaya membuka kembali ekspor minyak sawit atau crude pal oil (CPO) dan produk turunannya sebagai salah satu upaya untuk menaikkan harga beli tandan buah segar (TBS) petani yang saat ini masih rendah. Imbasnya, upaya pemerintah pendongkrak harga TBS sawit di tingkat petani juga belum bisa dipenuhi.
Salah satu biang seretnya ekspor adalah terkait pemberlakuan Pungutan Ekspor (Levy) yang digunakan pemerintah untuk subsidi program biodiesel. Apa lagi, pelaku usaha sudah dibebani Bea Keluar untuk setiap kegiatan ekspor sawit. Kombinasi kedua biaya tersebut dianggap memberatkan para pelaku usaha.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Plasma Sawit Indonesia (APPKSI) Marrie Andi Muhammadiyah mengatakan, dalam situasi saat ini, pungutan sawit memberikan efek berantai yang pada ujungnya justru membebani petani. Bagaimana tidak, lantaran adanya pungutan sati yang terbilang tingg, eksportir jadi enggan melakukan ekspor sawit. Kondisi ini membuat tangki-tangki penyimpanan di pabrik-pabrik pengolahan sawit menjadi penuh.
Akibatnya, kemampuan pabrik untuk menyerap TBS sawit petani menjadi rendah dan membuat harganya turun.
“Mempersulit ekspor CPO yang mana akhirnya menyebabkan over stock di tangki tangki penimbunan CPO di pabrik pabrik kelapa sawit,” tegas dia dalam keterangan tertulis yang diterima Kamis (7/7/2022).
Dengan kondisi saat ini, sudah waktunya pemerintah mulai mempertimbangkan untuk melakukan penghapusan pungutan Levy untuk menyelamatkan pelaku industri sawut khususnya petani.
“Pungutan ekspor CPO yang mencapai 55 persen dari harga Ekspor CPO harus dihapus karena justru membebani petani sawit dan dari pungutan ekspor,” sambung dia.
Apa lagi, lanjut dia, saat ini harga rata-rata CPO adalah sebesar US$ 1.615/ton. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.103 /PMK.05/2022 akan dikenakan Levy sebesar US$ 200 dan Bea Keluar sebesar US$ 280. Sementara itu, Harga Indeks Pasar (HIP) bahan bakar minyak (BBM) per Juli 2022 sebesar Rp 15.118,-/liter sedangkan HIP bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp 11.070,-/ltr, artinya saat ini harga BBM lebih tinggi dari BBN.
“Jadi tidak perlu lagi mensubsidi industri biodiesel karena harga Crude Oil (minyak bumi) sudah lebih mahal dari CPO,” tutur MA Muhammadiyah.
Tak berhenti sampai di sana, seretnya ekspor yang memicu rendahnya harga TBS sawit petani menurut dia, juga dipicu oleh kebijakan wajib pasokan dalam negeri alias domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
“Semua ini memberatkan kehidupan petani sawit karena pungutan ekspor CPO yang mencapai 55% dan aturan DPO dan DMO, setelah ekspor CPO di ijinkan kembali membuat harga Tandan buah segar jatuh hingga 200% dari harga saat sebelum ada pelarangan ekspor CPO,” tgasnya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah bertindak cepat melakukan pencabutan aturan penghambat ekspor. Ini penting dilakukan agar CPO di tangki-tangki penyimpanan bisa diekspor dan pabrik bisa kembali menyerap TBS sawit petani. Hal ini dinilainya bisa mendongkrak harga beli TBS sawit dan menyelamatkan petani.
“Jika dibiarkan seperti ini keadaan industri sawit nasional, maka masyarakat di luar Jawa yang banyak mengandalkan pendapatan rumah tangga dari sektor industri sawit mereka bisa menjadi masyarakat yang masuk katagori masyarakat miskin, nanti akibat hancurnya industri sawit nasional,” sebutnya dia.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPD RI Mahyudin. Menurutnya, penghapusan pungutan ekspor sawit bisa jadi salah satu solusi untuk mendongkrak harga TBS sawit di tingkat petani yang saat ini tengah anjlok cukup dalam.
Intervensi pemerintah juga diperlukan sebagai regulator, dengan menghentikan sementara pungutan eskpor dan bea keluar (BK) CPO. “Setidaknya langkah ini sesuai dengan kajian SPKS, di mana penurunan harga TBS sawit saat ini diakibatkan oleh tingginya pungutan ekspor yang dikumpulkan badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan besarnya Bea Keluar (BK) CPO,” tutur Mahyudin dalam keterangan terpisah.
Ia juga menambahkan sejumlah solusi lain. Pertama, berperan sebagai penjaga persediaan. Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas harga sawit, dengan menjaga persediaan.
“Di mana, ketika harga sawit turun pemerintah harus menyiapkan semacam badan usaha yang memilki kewenangan seperti halnya Bulog (Badan Urusan Logistik) dalam menstabilkan harga beras di pasaran,” tutur dia.
Kedua, cara mengatasi kisruh industri sawit ini bisa dilakukan dengan langkah pemerintah memperkuat BUMN perkebunan seperti PTPN, yang bertugas menyiapkan lahan pengolahan minyak goreng di tiap pulau se-Indonesia.
Ketiga, pemerintah perlu menjaga keseimbangan kepemilikan lahan sawit.
“Maka intervensi pemerintah sebagai stabilisator dan regulator harga sawit perlu dilakukan, karena sawit merupakan industri unggulan Indonesia dan menjadi salah satu sumber devisa terbesar negara. Untuk itulah, keberadaan infrastruktur dan aturan penunjang intervensi negara dalam indstri sawit perlu diperhatikan, dalam menstabilkan harga minyak goreng dan harga TBS. Sehingga pemerintah tidak hanya sekedar melakukan kebijakan buka dan tutup kebijakan ekspor CPO dan turunannya,” tandasnya.