Oleh : Eko Sulistyo
Invasi Rusia ke Ukraina, yang telah menewaskan sejumlah warga sipil, telah menimbulkan tekanan besar pada negara-negara Barat untuk memutuskan hubungan energi mereka dengan Moskow. Sanksi ekonomi dan larangan Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan impor minyak, gas dan energi Rusia, menegaskan konflik Rusia-Ukraina tidak hanya mengandalkan mesin perang, melainkan juga energi yang dipersenjatai. Peperangan tidak dibatasi wilayah, tetapi juga permainan politik global berbasis energi.
Sebagai “Petrostate” atau negara dengan ekonomi dan anggarannya bergantung pada ekspor minyak dan gas, Rusia telah menggunakan pasokan energinya sebagai tuas kendali dengan mendikte persyaratan. Jauh sebelum invasi, dalam negosisasi gas dengan Ukraina dan Belarus pada 2006, Rusia telah menunjukkan pengaruh ekonomi dan politiknya yang besar terhadap negara-negara yang bergantung pada energinya.
Salah satunya yang mengikat adalah penundaan setiap referendum tentang keanggotaan dengan NATO.
Maka perang Rusia di Ukraina telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan energi di Eropa serta implikasi global yang lebih luas. Richard J. Anderson (2019) dalam studinya, Europe’s Dependence on Russian Natural Gas: Perspectives and Recommendations for a Long-term Strategy, telah mengingatkan, peningkatan ketergantungan pada hidrokarbon Rusia, khususnya gas alam, menempatkan posisi Uni Eropa (UE) dalam bahaya. Diperlukan kerjasama negara-negara UE untuk menghasilkan strategi diversifikasi energi yang koheren guna mengurangi ketergantungan gas pada Rusia.
Minyak, Gas, dan Politik
Meski berbagai langkah telah dilakukan Eropa seperti Rencana 10 Poin atas saran Badan Energi Internasional (IEA), serta percepatan pembangunan Trans-European Networks for Energy (TEN-E) dan program pendanaan energi Connecting Europe Facility (CEF) yang dimulai sejak 2014, adalah proyek yang bertujuan untuk menghilangkan ketergantungan pada impor gas alam Rusia. Namun langkah ini membutuhkan kebijakan terpadu dan berkelanjutan di berbagai sektor, serta dialog internasional yang kuat tentang pasar energi dan keamanan.
Karena Rusia dikenal sebagai pemain utama di pasar energi global, dan salah satu dari tiga produsen minyak mentah dunia, bersaing dengan Arab Saudi dan AS. Rusia sangat bergantung pada pendapatan dari minyak dan gas alam, yang pada 2021 mencapai 45 persen dari anggaran federal Rusia. Pada 2021, produksi minyak mentah dan kondensat Rusia mencapai 10,5 juta barel per hari (bph), atau 14 persen dari total pasokan dunia (IEA, 2022).
Pada 2021, Rusia mengekspor sekitar 4,7 juta bph minyak mentah ke negara-negara di seluruh dunia. China adalah importir terbesar minyak mentah Rusia (1,6 juta bph), tetapi Rusia mengekspor volume yang signifikan ke pembeli di Eropa (2,4 juta bph). Rusia memiliki kapasitas pipa ekspor minyak mentah yang luas, memungkinkannya untuk mengirimkan minyak mentah dalam jumlah besar langsung ke Eropa dan Asia.
Selain minyak, Rusia juga dikenal sebagai raksasa gas alam setelah AS, dan memiliki cadangan gas terbesar di dunia. Pada 2021, Rusia memproduksi 762 milyar meter kubik (bcm) gas alam, dan mengekspor sekitar 210 bcm melalui pipa. Gazprom dan Novatek adalah produsen gas utama Rusia, tetapi banyak perusahaan minyak Rusia, termasuk Rosneft, juga mengoperasikan fasilitas produksi gas.
Rusia memiliki jaringan pipa ekspor gas yang luas, melalui transit di Belarus dan Ukraina, serta rute pipa yang mengirimkan gas langsung ke Eropa, termasuk pipa Nord Stream, Blue Stream, dan TurkStream. Rusia juga telah menyelesaikan pekerjaan pipa Nord Stream II pada 2021, meski pemerintah Jerman memutuskan untuk tidak menyetujui sertifikasi setelah invasi Rusia ke Ukraina. Gas alam Rusia menyumbang 45 persen dari impor dan hampir 40 persen dari permintaan gas Eropa pada 2021.
Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia terus mengembangkan produksi gasnya untuk meningkatkan ekspor karena produksi gas alam domestik Eropa telah menurun. Jerman, Turki dan Italia adalah importir terbesar gas alam Rusia. Pada akhir 2019, Rusia meluncurkan pipa ekspor gas utama ke timur, pipa Power of Siberia sepanjang 3.000 km, yang memiliki kapasitas 38 bcm, agar dapat mengirim gas dari ladang timur jauh langsung ke China.
Gazprom sebagai pemilik tunggal Sistem Transportasi Gas Terpadu Rusia, dengan jaringan pipa dan stasiun kompresor gas sepanjang 155.000 km, berupaya meningkatkan pasokan untuk memiliki pasar dan sarana pengiriman ke China. Rusia mengembangkan pipa Power of Siberia-2, dengan kapasitas 50 bcm, yang akan memasok China dari ladang gas Siberia Barat. Bagi Eropa, yang mengkhawatirkan dari pasar China bukan hanya aspek permintaan, tetapi fakta bahwa Rusia akan lebih memilih berurusan dengan China.
Sanksi dan Embargo
Kini perang Rusia-Ukraina yang sudah memasuki bulan kedua, telah membuat dunia terbelah mensikapi pengamanan rantai pasok energi, terutama minyak dan gas. Beberapa negara yang tidak mau dibawah pengaruh AS dalam soal perang, memilih untuk tetap mendapatkan pasokan minyak dan gas murah Rusia. Mereka tidak mau di tengah situasi geopolitik perang Rusia-Ukraina, terkena dampak lebih parah atas kenaikkan harga minyak dan komoditas global yang bisa berimbas pada kestabilan politik dalam negeri.
Anehnya, sikap ini juga diperlihatkan negara-negara UE selaku sekutu utama AS. Meski AS telah memberlakukan embargo minyak dan gas Rusia, mereka mengecualikannya dari sejumlah sanksi. Mereka juga berhitung, apakah janji AS untuk memasok kebutuhan minyak dan gas ke Eropa, bisa dipenuhi dengan kebijakan AS terhadap Rusia saat ini. Lobi AS kepada negara produsen minyak seperti Venezuela, Iran, dan Arab Saudi, maupun organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC), belum berhasil memompa cadangan minyak mereka.
Sementara Rusia kini menuntut mata uangnya rubel dan pembukaan rekening di bank Rusia sebagai syarat pembayaran minyak dan gas alamnya kepada negara-negara yang ikut menjatuhkan sanksi. Jelas dampak perang Rusia-Ukraina makin lama dirasakan makin berat akibat terganggunya pasokan energi. Bahkan beberapa negara Eropa yang dikenal ambisius mengejar target Net Zero Emission pada 2050, mulai melirik kembali batu bara untuk memenuhi pasokan energinya.
Kini guncangan perang Rusia-Ukraina tidak hanya menyeret ekonomi global yang baru pulih dari pandemi, tetapi juga mengubah arsitektur keamanan dan energi global. Bagi Indonesia, dampak nyata dari perang adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan komoditas, selain polarisasi yang membayangi pertemuan para pemimpin G-20 yang akan berlangsung di Bali, November mendatang. Agar guncangan perang ini juga tidak menyeret stabilitas politik nasional, diperlukan agenda prioritas pemerintah di tengah sumberdaya yang terbatas.
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).
Sudah diterbitkan di Kompas, (18/4/2022)